Senin, 16 September 2013

Mendongkrak Disiplin Kerja dengan Budaya Malu


Meulaboh-KemenagNews (7/9/2013) Berbicara tentang kedisiplinan dan komitmen untuk lakukan yang terbaik, budaya kerja bangsa Jepang bisa dijadikan sebagai contoh. Bangsa Jepang dikenal sebagai bangsa yang disiplin dan tingkat produktivitasnya tinggi. Berkat budaya kerjanya itu maka mereka bisa menjadi bangsa yang tingkat ekonominya sejajar dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.
Orang jepang terkenal dengan etos kerjanya yang luar biasa. Etos kerja ini memiliki peranan penting atas kebangkitan ekonomi jepang, terutama setelah kekalahan Jepang diperang dunia kedua. Dulu orang Jepang bukanlah orang yang memiliki etos kerja yang tinggi. Mereka tidak disiplin dan lebih senang bersantai dan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang.
Namun kekalahan Jepang pada perang dunia kedua mengubah keadaan yang serba santai dimasa lalu. Ekonomi Jepang kacau balau, pengangguran dimana-mana. Saat itu mereka tidak punya pilihan lain selain bekerja dengan sangat keras agar bisa survive. Kondisi yang serba tidak enak itu secara tidak langsung menempa kedisiplinan mereka dan memiliki peran yang sangat signifikan dalam pembentukan etos kerja mereka yang begitu mengagumkan. Etos kerja tersebut menular ke generasi selanjutnya dalam konsep moral yang ditanamkan dengan ketat melalui jalur pendidikan.
Berbagai disiplin bangsa Jepang ditempat kerja mereka akan diuraikan dalam berbagai contoh:
1. Prinsip Bushido
Prinsip tentang semangat kerja keras yang diwariskan secara turun- menurun. Semangat ini melahirkan proses belajar yang tak kenal lelah. Awalnya semangat ini dipelajari Jepang dari barat. Tapi kini baratlah yang terpukau dan harus belajar dari Jepang.
2. Prinsip Disiplin Samurai
Prinsip yang mengajarkan tidak mudah menyerah. Para samurai akan melakukan harakiri (bunuh diri) dengan menusukkan pedang ke perut jika kalah bertarung. Hal ini memperlihatkan usaha mereka untuk menebus harga diri yang hilang akibat kalah perang. Kini semangat samurai masih tertanam kuat dalam sanubari bangsa Jepang, namun digunakan untuk membangun ekonomi, menjaga harga diri, dan kehormatan bangsa secara teguh. Semangat ini telah menciptakan bangsa Jepang menjadi bangsa yang tak mudah menyerah karena sumber daya alamnya yang minim juga tak menyerah pada berbagai bencana alam, terutama gempa dan tsunami.
3. Konsep Budaya Keishan
Perubahan secara berkesinambungan dalam budaya kerja. Caranya harus selalu kreatif, inovatif, dan produktif. Konsep Keisan menuntut kerajinan, kesungguhan, minat dan keyakinan, hingga akhirnya timbul kemauan untuk selalu belajar dari orang lain.
4. Malu, kalau pulang lebih cepat
Mereka yang pulang lebih cepat dianggap sebagai pekerja yang tidak penting dan tidak produktif. Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskan di tempat kerja. Kecintaan orang Jepang pada pekerjaannya, membuat mereka fokus pada pekerjaannya. Tanpa ada pengawas pun mereka bekerja dengan baik, penuh dedikasi, dan disiplin.
5. Kerja ya kerja, istirahat betul-betul istirahat
Ketika jam 8 pagi masuk kerja, tak ada lagi obrolan dan canda, mereka langsung bekerja di komputer masing-masing atau sibuk langsung di depan workstation masing-masing. Baru ketika tiba saatnya hiru gohan no jikan (makan siang) mereka hentikan aktivitas masing-masing dan bercanda ria dengan teman-teman sambil menuju shokudo (kantin).
6. Disiplin soal kecil-kecil
  • Sampah yang jatuh di area kerja, harus dipungut dengan tangan kosong (sude), tidak boleh memakai alat.
  • Jika menemukan puntung rokok atau permen karet, Anda harus segera pungut, tidak peduli siapa yang membuangnya, Anda tidak boleh pura-pura seolah tidak melihatnya.
Teringat bukunya Mochtar Lubis yang berjudul Manusia Indonesia, beliau mengatakan bahwa bangsa ini memiliki jiwa hipokrit serta segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Bisa jadi, hal inilah yang menjadi akar permasalahan atas makin keropos dan terkikisnya budaya malu bangsa kita saat ini.
Ehm.. sudah benar-benar hilangkah budaya malu bangsa kita, bangsa ini? Mungkin tidaklah terlalu sulit menjawab pertanyaan tersebut ketika kita mau melihat realita dan problematika yang terjadi di negeri kita sekarang ini.
Di mana-mana, hampir dalam semua aspek kehidupan, sepertinya semakin banyak perilaku yang mengindikasikan bahwa budaya malu itu sudah semakin keropos (atau justru sudah hilang) dari diri masyarakat kita. Hampir semua pihak yang berada di sektor kehidupan Indonesia telah kehilangan identitasnya sebagai seorang yang memiliki budaya malu, baik malu pada diri sendiri, malu pada orang lain dan terutama malu pada Allah SWT. Yang pejabat tidak bisa menunjukkan diri sebagai orang yang pantas disebut sebagai ‘pejabat’, yang public figur tidak mampu memberikan teladan yang pantas sebagai orang yang bisa dijadikan sebagai‘figur’,dll.
Contoh lain yaitu termasuk masalah kehadiran dalam masuk kerja, tak sedikit kita liat abdi negara begitu sebutan untuk pegawai negeri sipil yang selalu mebiasakan diri masuk dan keluar kantor tanpa sedikitpun merasa malu apa penilaian masyarakat nanti, Lemahnya komitmen mayoritas PNS untuk menaati rentang waktu kerja yang sesuai aturan juga bukan merupakan sesuatu yang gawat. Apalagi bila membandingkannya dengan masalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di birokrasi. Walaupun begitu, kondisi ini kerap memicu rasa sebal di masyarakat yang serta-merta membuat malu organisasi birokrasi.
Entah karena risih ataupun gusar dengan kenyataan tersebut, Pemerintah selalu berupaya memperbaikinya. Namun segala cara yang telah ditempuh, tidak pernah tuntas menyelesaikan akar masalah. Mulai dari inspeksi mendadak (sidak) oleh para pejabat publik sampai dengan merazia PNS oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat waktu jam kerja di tempat umum. Semua itu tidak efektif karena bersifat kondisional dan bukan memperbaiki sistem pengawasan.
Tetapi kini timbul harapan baru untuk menyelesaikan keadaan ini. Pada 2010, Pemerintah mengganti peraturan yang lama yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 (PP 53 Th 2010) tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Pemerintah juga melengkapi dengan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010 (Perka BKN No 21 Th 2010) sebagai pedoman teknis pelaksanaan PP 53 Th 2010.
Padahal budaya malu merupakan perisai kita dari melakukan perbuatan yang ‘kurang pantas’. Jika manusia sudah tidak punya lagi rasa malu, maka manusia akan berbuat apa saja, bahkan melakukan perbuatan yang lebih rendah daripada hewan. Dan ironisnya justru inilah yang sekarang ini terjadi, di era yang sering disebut-sebut sebagai era globalisasi, mencari budaya malu itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Kini banyak orang mengaku beragama, tapi tidak segan-segan lagi mengabaikan nilai agamanya. Tidak malu untuk mengambil yang bukan haknya, tidak malu untuk melakukan tindakan asusila. Sudah tidak terhitung lagi pelaku yang diselidik, disidik, tersangka, terdakwa, terpidana, yang masih sempat mengumbar senyuman saat menjalani proses peradilan seolah tidak terjadi kesalahan apa-apa. Kita mungkin hanya bisa mengelus dada karena mereka sama sekali tidak merasa malu atau setidaknya risih atas tindakannya.
Saya percaya, sebenarnya hanya segelintir saja orang yang berbuat ‘kurang pantas’ tersebut, masih lebih banyak dari kita yang menjunjung nilai moralitas. Namun (seperti kata Bapak Mario Teguh) sering kali yang sedikit itu merepotkan dan menggelisahkan yang banyak. Jadi, marilah kita putus saja rantai manusia tidak berbudaya malu yang masih tersebar di pertiwi ini. Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih oleh bangsa ini.
Orang yang malu, akan menjaga isi kepalanya supaya tidak berpikir untuk melakukan perbuatan negatif. Orang yang merancang perbuatan maksiat, berarti dia tidak malu kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui apa yang tampak dan yang tersembunyi. Begitu pula rasa malu dalam mengisi perut. Artinya, segala yang masuk ke dalam perut haruslah sesuatu yang halal, tidak boleh yang haram.
Juga tidak boleh memakan sesuatu dari hasil yang haram, misalnya mencuri, korupsi, suap menyuap, ataupun merampas hak milik orang lain. Dengan budaya malu, seorang pejabat tidak akan mau melakukan perbuatan korupsi dan kolusi, seorang pedagang tentu tidak akan mengurangi takaran, seorang pelajar tidak akan berbuat curang dalam ujian, suami atau istri tidak akan melakukan perbuatan selingkuh, remaja akan menjauhi segala bentuk narkoba dan hubungan lain jenis di luar nikah.
Setiap kita harus berani menatap cermin dan bertanya pada bayangan yang ada di sana, masihkah menghayati etika atau sudah luntur budaya malunya?
Dengan budaya malu, kita tidak akan menjadi pribadi yang malu-maluin. Karena dengan budaya malusetiap orang akan menjaga dirinya dari perbuatan yang dilarang agama maupun norma susila. Pada gilirannya nanti, akan tercipta masyarakat yang religius dan berbudaya.
“Hiduplah sesukamu tapi engkau pasti mati, berbuatlah sesukamu tapi pasti engkau akan dibalas (sesuai perbuatanmu itu),” nasihat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. (nukilan dari Sahl bin Said).
[oleh: Jufrizal (Staf Kepegawaian Kankemenag Kab. Aceh Barat)]
(Keterangan Foto: Suasana Apel Pagi di Halaman Kankemenag Aceh Barat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar