Meulaboh-KemenagNews (7/9/2013)
Berbicara tentang kedisiplinan dan komitmen untuk lakukan yang terbaik,
budaya kerja bangsa Jepang bisa dijadikan sebagai contoh. Bangsa Jepang
dikenal sebagai bangsa yang disiplin dan tingkat produktivitasnya
tinggi. Berkat budaya kerjanya itu maka mereka bisa menjadi bangsa yang
tingkat ekonominya sejajar dengan negara-negara maju di Eropa dan
Amerika.
Orang jepang terkenal dengan etos kerjanya yang luar biasa. Etos
kerja ini memiliki peranan penting atas kebangkitan ekonomi jepang,
terutama setelah kekalahan Jepang diperang dunia kedua. Dulu orang
Jepang bukanlah orang yang memiliki etos kerja yang tinggi. Mereka tidak
disiplin dan lebih senang bersantai dan menghabiskan waktunya untuk
bersenang-senang.
Namun kekalahan Jepang pada perang dunia kedua mengubah keadaan yang
serba santai dimasa lalu. Ekonomi Jepang kacau balau, pengangguran
dimana-mana. Saat itu mereka tidak punya pilihan lain selain bekerja
dengan sangat keras agar bisa survive. Kondisi yang serba tidak enak itu
secara tidak langsung menempa kedisiplinan mereka dan memiliki peran
yang sangat signifikan dalam pembentukan etos kerja mereka yang begitu
mengagumkan. Etos kerja tersebut menular ke generasi selanjutnya dalam
konsep moral yang ditanamkan dengan ketat melalui jalur pendidikan.
Berbagai disiplin bangsa Jepang ditempat kerja mereka akan diuraikan dalam berbagai contoh:
1. Prinsip Bushido
Prinsip tentang semangat kerja keras yang diwariskan secara turun-
menurun. Semangat ini melahirkan proses belajar yang tak kenal lelah.
Awalnya semangat ini dipelajari Jepang dari barat. Tapi kini baratlah
yang terpukau dan harus belajar dari Jepang.
2. Prinsip Disiplin Samurai
Prinsip yang mengajarkan tidak mudah menyerah. Para samurai akan
melakukan harakiri (bunuh diri) dengan menusukkan pedang ke perut jika
kalah bertarung. Hal ini memperlihatkan usaha mereka untuk menebus harga
diri yang hilang akibat kalah perang. Kini semangat samurai masih
tertanam kuat dalam sanubari bangsa Jepang, namun digunakan untuk
membangun ekonomi, menjaga harga diri, dan kehormatan bangsa secara
teguh. Semangat ini telah menciptakan bangsa Jepang menjadi bangsa yang
tak mudah menyerah karena sumber daya alamnya yang minim juga tak
menyerah pada berbagai bencana alam, terutama gempa dan tsunami.
3. Konsep Budaya Keishan
Perubahan secara berkesinambungan dalam budaya kerja. Caranya harus
selalu kreatif, inovatif, dan produktif. Konsep Keisan menuntut
kerajinan, kesungguhan, minat dan keyakinan, hingga akhirnya timbul
kemauan untuk selalu belajar dari orang lain.
4. Malu, kalau pulang lebih cepat
Mereka yang pulang lebih cepat dianggap sebagai pekerja yang tidak
penting dan tidak produktif. Ukuran nilai dan status orang Jepang
didasarkan pada disiplin kerja dan jumlah waktu yang dihabiskan di
tempat kerja. Kecintaan orang Jepang pada pekerjaannya, membuat mereka
fokus pada pekerjaannya. Tanpa ada pengawas pun mereka bekerja dengan
baik, penuh dedikasi, dan disiplin.
5. Kerja ya kerja, istirahat betul-betul istirahat
Ketika jam 8 pagi masuk kerja, tak ada lagi obrolan dan canda,
mereka langsung bekerja di komputer masing-masing atau sibuk langsung di
depan workstation masing-masing. Baru ketika tiba saatnya hiru gohan no
jikan (makan siang) mereka hentikan aktivitas masing-masing dan
bercanda ria dengan teman-teman sambil menuju shokudo (kantin).
6. Disiplin soal kecil-kecil
- Sampah yang jatuh di area kerja, harus dipungut dengan tangan kosong (sude), tidak boleh memakai alat.
- Jika menemukan puntung rokok atau permen karet, Anda harus segera
pungut, tidak peduli siapa yang membuangnya, Anda tidak boleh pura-pura
seolah tidak melihatnya.
Teringat bukunya Mochtar Lubis yang berjudul Manusia Indonesia,
beliau mengatakan bahwa bangsa ini memiliki jiwa hipokrit serta segan
dan enggan bertanggung jawab atas perbuatannya. Bisa jadi, hal inilah
yang menjadi akar permasalahan atas makin keropos dan terkikisnya budaya
malu bangsa kita saat ini.
Ehm.. sudah benar-benar hilangkah budaya malu bangsa kita, bangsa
ini? Mungkin tidaklah terlalu sulit menjawab pertanyaan tersebut ketika
kita mau melihat realita dan problematika yang terjadi di negeri kita
sekarang ini.
Di mana-mana, hampir dalam semua aspek kehidupan, sepertinya semakin
banyak perilaku yang mengindikasikan bahwa budaya malu itu sudah
semakin keropos (atau justru sudah hilang) dari diri masyarakat kita.
Hampir semua pihak yang berada di sektor kehidupan Indonesia telah
kehilangan identitasnya sebagai seorang yang memiliki budaya malu, baik
malu pada diri sendiri, malu pada orang lain dan terutama malu pada
Allah
SWT. Yang pejabat tidak bisa menunjukkan
diri sebagai orang yang pantas disebut sebagai ‘pejabat’, yang public
figur tidak mampu memberikan teladan yang pantas sebagai orang yang bisa
dijadikan sebagai‘figur’,dll.
Contoh lain yaitu termasuk masalah kehadiran dalam masuk kerja, tak
sedikit kita liat abdi negara begitu sebutan untuk pegawai negeri sipil
yang selalu mebiasakan diri masuk dan keluar kantor tanpa sedikitpun
merasa malu apa penilaian masyarakat nanti, Lemahnya komitmen mayoritas
PNS
untuk menaati rentang waktu kerja yang sesuai aturan juga bukan
merupakan sesuatu yang gawat. Apalagi bila membandingkannya dengan
masalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (
KKN)
di birokrasi. Walaupun begitu, kondisi ini kerap memicu rasa sebal di
masyarakat yang serta-merta membuat malu organisasi birokrasi.
Entah karena risih ataupun gusar dengan kenyataan tersebut,
Pemerintah selalu berupaya memperbaikinya. Namun segala cara yang telah
ditempuh, tidak pernah tuntas menyelesaikan akar masalah. Mulai dari
inspeksi mendadak (sidak) oleh para pejabat publik sampai dengan merazia
PNS oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol
PP) saat waktu jam kerja di tempat umum. Semua itu tidak efektif karena
bersifat kondisional dan bukan memperbaiki sistem pengawasan.
Tetapi kini timbul harapan baru untuk menyelesaikan keadaan ini.
Pada 2010, Pemerintah mengganti peraturan yang lama yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 (PP 53 Th 2010) tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Pemerintah juga melengkapi dengan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian
Negara Nomor 21 Tahun 2010 (Perka
BKN No 21 Th 2010) sebagai pedoman teknis pelaksanaan PP 53 Th 2010.
Padahal budaya malu merupakan perisai kita dari melakukan perbuatan
yang ‘kurang pantas’. Jika manusia sudah tidak punya lagi rasa malu,
maka manusia akan berbuat apa saja, bahkan melakukan perbuatan yang
lebih rendah daripada hewan. Dan ironisnya justru inilah yang sekarang
ini terjadi, di era yang sering disebut-sebut sebagai era globalisasi,
mencari budaya malu itu seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Kini banyak orang mengaku beragama, tapi tidak segan-segan lagi
mengabaikan nilai agamanya. Tidak malu untuk mengambil yang bukan
haknya, tidak malu untuk melakukan tindakan asusila. Sudah tidak
terhitung lagi pelaku yang diselidik, disidik, tersangka, terdakwa,
terpidana, yang masih sempat mengumbar senyuman saat menjalani proses
peradilan seolah tidak terjadi kesalahan apa-apa. Kita mungkin hanya
bisa mengelus dada karena mereka sama sekali tidak merasa malu atau
setidaknya risih atas tindakannya.
Saya percaya, sebenarnya hanya segelintir saja orang yang berbuat
‘kurang pantas’ tersebut, masih lebih banyak dari kita yang menjunjung
nilai moralitas. Namun (seperti kata Bapak Mario Teguh) sering kali yang
sedikit itu merepotkan dan menggelisahkan yang banyak. Jadi, marilah
kita putus saja rantai manusia tidak berbudaya malu yang masih tersebar
di pertiwi ini. Sudah saatnya malu menjadi budaya yang harus senantiasa
dijaga dan dipelihara, baik oleh individu, kelompok, terlebih oleh
bangsa ini.
Orang yang malu, akan menjaga isi kepalanya supaya tidak berpikir
untuk melakukan perbuatan negatif. Orang yang merancang perbuatan
maksiat, berarti dia tidak malu kepada Allah, karena Allah Maha
Mengetahui apa yang tampak dan yang tersembunyi. Begitu pula rasa malu
dalam mengisi perut. Artinya, segala yang masuk ke dalam perut haruslah
sesuatu yang halal, tidak boleh yang haram.
Juga tidak boleh memakan sesuatu dari hasil yang haram, misalnya
mencuri, korupsi, suap menyuap, ataupun merampas hak milik orang lain.
Dengan budaya malu, seorang pejabat tidak akan mau melakukan perbuatan
korupsi dan kolusi, seorang pedagang tentu tidak akan mengurangi
takaran, seorang pelajar tidak akan berbuat curang dalam ujian, suami
atau istri tidak akan melakukan perbuatan selingkuh, remaja akan
menjauhi segala bentuk narkoba dan hubungan lain jenis di luar nikah.
Setiap kita harus berani menatap cermin dan bertanya pada bayangan
yang ada di sana, masihkah menghayati etika atau sudah luntur budaya
malunya?
Dengan budaya malu, kita tidak akan menjadi pribadi yang
malu-maluin. Karena dengan budaya malusetiap orang akan menjaga dirinya
dari perbuatan yang dilarang agama maupun norma susila. Pada gilirannya
nanti, akan tercipta masyarakat yang religius dan berbudaya.
“Hiduplah sesukamu tapi engkau pasti mati, berbuatlah sesukamu tapi
pasti engkau akan dibalas (sesuai perbuatanmu itu),” nasihat Jibril
kepada Nabi Muhammad
SAW. (nukilan dari Sahl bin Said).
[oleh: Jufrizal (Staf Kepegawaian Kankemenag Kab. Aceh Barat)]
(Keterangan Foto: Suasana Apel Pagi di Halaman Kankemenag Aceh Barat)